Entri Populer

Selasa, 01 Maret 2016

INDIGO


Indigo adalah warna nila, biru gelap. Anak indigo adalah anak yang memiliki lapangan aura berwarna nila. Cara berpikirnya yang khas, pembawaannya yang tua, membuat anak indigo tampil beda dengan anak sebayanya. Pacaran aura yang dimilikinya membawa kepada suatu karakteristik perilaku unik. Secara fisik anak indigo sama sekali tak berbeda dengan anak lainnya.
Lewat bukunya Understanding Your Life Through Color, Nancy Tappe (1982) membuat klasifikasi manusia berdasarkan warna energi atau cakra. Cakra adalah pintu-pintu khusus dalam tubuh manusia untuk keluar masuknya energi. Konon pada tubuh manusia ada 7 cakra, yaitu cakra mahkota ada di puncak kepala, cakra Ajna di antara dua alis, cakra tenggorokan di tenggorokan, cakra jantung di tengah dada, cakra pusar ada di pusar, cakra seks ada pada tulang pelvis, dan cakra dasar ada di tulang ekor.
Anak indigo memiliki keunggulan pada cakra Ajna (the third eyes) yang berkaitan dengan kelenjar hormon hipofisis dan epifisis di otak. Adanya mata ketiga ini membuat anak indigo disebut memiliki indra keenam. Mereka dianggap memiliki kemampuan menggambarkan masa lalu dan masa datang.
Satu hal yang penting dan digaris bawahi, yaitu tidak jarang anak indigo salah diidentifikasi. Mereka sering dianggap sebagai anak LD (Learning Sidability) ataupun anak ADD/HD (Attentian Deficit Disorder/Hyperactivity Disorder). Perbedaannya adalah ketidakajegan munculnya perilaku yang dikeluhkan. Misalnya pada anak indigo, mereka menunjukkan keunggulan pemahaman terhadap aturan-aturan sosial dan penalaran abstrak, tapi tak tampak dalam kesehariannya, baik di sekolah maupun di rumah.
Terdapat 4 macam anak indigo:
· Humanis. Tipe ini akan bekerja dengan orang banyak. Kecenderungan karir di masa datang adalah dokter, pengacara, guru, pengusaha, politikus atau pramuniaga. Perilaku menonjol saat ini hiperaktif, sehingga perhatiannya mudah tersebar. Mereka sangat sosial, ramah, dan memiliki pendapat kokoh.
· Konseptual. Lebih enjoy bekerja sendiri dengan proyek-proyek yang ia ciptakan sendiri. Contoh karir adalah sebagai arsitek, perancang, pilot, astronot, prajurit militer. Perilaku menonjol suka mengontrol perilaku orang lain.
· Artis. Tipe ini menyukai pekerjaan seni. Perilaku menonjol adalah sensitif, dan kreatif. Mereka mampu menunjukkan minat sekaligus dalam 5 atau 6 bidang seni, namun beranjak remaja minat terfokus hanya pada satu bidang saja yang dikuasai secara baik.
· Interdimensional. Anak indigo tipe ini di masa datang akan jadi filsuf, pemuka agama. Dalam usia 1 atau 2 tahun, orangtua merasa tidak perlu mengajarkan apapun karena mereka sudah mengetahuinya.
Ciri-ciri anak berbakat yang indigo:
· Memiliki sensitivitas tinggi.
· Memiliki energi berlebihan untuk mewujudkan rasa ingin tahunya yang berlebihan.
· Mudah sekali bosan.
· Menentang otoritas bila tidak berorientasi demokratis.
· Memiliki gaya belajar tertentu.
· Mudah frustasi karena banyak ide namun kurang sumber yang dapat membimbingnya.
· Suka bereksplorasi.
· Tidak dapat duduk diam kecuali pada objek yang menjadi minatnya.
· Sangat mudah merasa jatuh kasihan pada orang lain.
· Mudah menyerah dan terhambat belajar jika di awal kehidupannya mengalami kegagalan.

Tinta Merdeka


Naskah ini dibuat dalam upaya memenuhi salah satu tugas mata kuliah penulisan Lakon

Sinopsis :
“Tinta Merdeka” merupakan sebuah naskah lakon yang menceritakan tentang semangat nasionalisme dan makna kemerdekaan dibalik proklamasi paska kemerdekaan 1945. Kisah ini bermula pada Dekardi yang gigih ingin agar masyarakat desanya mengerti apa sebenarnya makna kemerdekaan itu bukan sekedar kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada tahun 1945. Pada saat itu, para koloni menjanjikan pembagian harta pada masyarakat desanya sebanyak 50% dengan syarat agar tidak mengibarkan bendera Indonesia di Desa tersebut. Tak ada yang menyadari jika pembagian harta tersebut hanyalah taktik koloni untuk tetap menguasai desa itu. Dengan dibantu keduasahabatnya yang disebut dengan kawanan Tinta Merdeka, Dekardi berusaha memperjuangkan agar sang merah putih dapat berkibar semestinya sebagai simbol desa mereka telah terlepas dari campur tangan kehegemonian koloni.

 
TINTA MERDEKA
BABAK I
(Di Sebuah lapangan tengah desa)
ADEGAN I
Dekardi, Merta dan Sukamta duduk di ruang tengah rumah Dekardi. Di dinding rumah tersebut terdapat sebuah tulisan “Merdeka” yang terbuat dari bercak darah.
Dekar              : Kita belum merdeka! (menegaskan).
Sutamka          : Tetapi tahun lalu kemerdekaan kita telah diproklamasikan oleh para  
Tokoh negara.
Dekar              :Merdeka itu bukan hanya proklamasi! Apa artinya merdeka jika di desa sendiri kita tidak dapat melihat sang merah-putih berkibar?!!.
Merta               : Jadi menurutmu merdeka adalah...
Dekar              : MERDEKA ADALAH BERKIBARNYA SANG MERAH PUTIH DI
                          LANGIT DESA KITA!
Sutamka          : Tidak! Tentunya kalian semua tahu. Memang sebagian besar tuan tanah, pemilik sawah dan ladang adalah sanak saudara dari penjajah. Namun mereka berbaik hati untuk membagi 50% hasil panennya untuk desa kita. Hanya dengan syarat agar tidak mengibarkan sang merah-putih saja. Apa salahnya menghargai mereka. (tanpa disangka, sebuah lencana terjatuh dari pakaiannya. Lencana itu adalah identetas bagi para mata-mata penjajah)
Merta               : Kau kompeni! (Segera mengambil sebuah bambu runcing di dekatnya, dan
  kemudian diarahkan ke leher Sutamka).
Sutamka          : Bukan!.
Dekar              : Sudah kukira kau..!!.
Sutamka          : Bisa kujelaskan!.
Dekar&Merta  : Jelaskan saja di depan masyarakat.
Sutamka          : Baik.. baik.. tolong dengarkanku dulu. Kita bersahabat sejak lama (emosi Dekar dan Merta sedikit mereda) tentu kalian ingat? Ya tentu. Ketika kita menjahit selembar kain putih lebar. Dan kita melakukan hal gila, ya! Menggoreskaan belati di lengan kita kemudian kita menyayat lengan setelah itu menjadikan percakan darah yang mengalir sebagai tinta untuk mewarnai kain putih kita agar sisinya menjadi warna merah seperti layaknya bendera negara kita bukan?.
Merta               : Ya tentu saja kami ingat, Karena kami bukan seorang yang pelupa, juga tega
menghianati sahabat dan bangsanya seperti mu!.
Sukamta          : Aku tidak meng.. (terpotong oleh perkataan Dekar)
Dekardi           : Ya Merta benar. (Dekar berbicara dengan nada rendah) Aku ingat, bahkan
setelah itu kita menggoreskan telunjuk dengan belati pula kemudian menjadikannya tinta untuk menulis kata merdeka di dinding rumahku. Ya kita gila. (Nada bicara Dekar yang semula rendah menjadi tinggi karena emosinya memuncak) Tapi lencana ini telah membuktikan bahwa kau lebih gila karena telah menghianati bangsamu sendiri Sukamta!!
Merta               : Kau pantas mati!!! (Berteriak sambil mencoba menusuk bambung runcing
pada Sukamta)
Sukamta          : Silahkan! Bunuh saja aku! Aku melakukan ini semua demi desa kita. Tepat
pada 17 Agustus besok para koloni akan melakukan gencatan senjata kemari. Mereka menganggap besok adalah hari yang tepat, karena pemerintah dan sebagian masyarakat Indonesia tengah terlarut dalam gebyar kemeriahan hari kemerdekaan untuk yang pertama kalinya. Maka dari itu, aku memutuskan untuk menjadi mata-mata mereka agar mereka tak membunuhmu Dekardi.
Merta               : Membunuh Dekardi?
Sukamta          : Ya, mereka tahu. Dekardilah pemuda yang paling gigih mempertahankan
kemerdekaan di Desa ini. Karena itulah aku selalu membantah jika kau tetap bersi kukuh ingin mengibarkan sang merah-putih. Karena jika saat itu tiba, mata-mata koloni lain yang entah siapa akan menembak mu saat itu juga. Aku tidak ingin kau mati Dekardi.
Dekardi           : Mati? Kalau begitu aku tahu jalan keluarnya.
Merta               : Tak akan mungkin ada jalan keluar. Hal yang bisa kita lakukan hanyalah
mengalihkan perhatian mereka. Itu pun jika kau tetap ingin mengibarkan sang merah putih.
(Dekardi membisikan sesuatu pada Sukamta)
Sukamta          : Aku tidak bisa melakukan strategi itu.
Merta               : Strategi apa? Dekardi, mengapa kau berbisik dan tidak memberitahukannya
padaku?
Dekardi           : Kemari.. Ikuti aku, jangan sampai ada yang mendengar. Sukamta, hanya itu
satu-satunya cara untuk mengalihkan perhatian mereka dan mengetahui siapa diantara masyarakat Desa kita yang menjadi mata-mata koloni selain kau,  dengan begitu Desa kita akan bersih tanpa adanya koloni maupun kaki kanannya. Merta? Kau kekasihku. Kau percaya padaku bukan?. Lakukan tugasmu sukamta berjanjilah. Dan kau Merta, lakukan apa yang ku katakan ketika suara peluru pertama terdengar, ingat merta kau harus melakukannya walau dalam keadaan apapun.
Merta               : Baiklah aku percaya. Apa yang harus ku lakukan?
Dekardi           : Ketika terdengar suara senapan pertama yang ditembakan oleh mata-mata
itu aku akan membuatnya terjatuh, setelah ia lengah rebut senapannya kemudian tembaklah ia.

ADEGAN II
Keesokannya, hari bersejarah itupun tiba. Dekar berhasil mewujudkan impiannya yakni mengibarkan sang merah-putih di tengah pelosok Indonesia. Dengan disaksikan masyarakat Desa Tiga sekawan itu Dekardi, Merta dan Sukamta berdiri dihadapan tiang yang nantinya bendera merah-putih akan berkibar di ujung tanduknya. Merta berdiri di tengah sembari membawa bendera, Dekardi di sebelah kanan dan Sukamta di sebelah kiri. Tiga sekawan itu menghantam panasnya terik mentari dan mempusatkan pikiran pada ujung tiang tersebut. Tak lupa Sukamta dan Merta memahat janji mereka dalam hati akan strategi yang diperintahkan oleh Dekardi. Proses pengibaranpun dilaksanakan.
Dekardi           : Bendera siap! (Dekardi membentangkan sang merah-putih. Para
masyarakat turut serta menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tak lupa Sukamta segera melnjalankan strateginya, dikeluarkannya belati dari sakunya kejadian itu membuat masyarakat juga Merta tercengang.
Sukamta          : Kau tidak akan pernah melihat benderamu berkibar Dekar!! Akulah
sahabatmu juga malaikat penyabut nyawamu! (Segeralah seorang bertopeng keluar dengan senapannya).
Mata-mata       : Angkat tangan! Sukamta, cepat tusukan belatinya pada pejuang konyol itu.
Sukamta          : Baik! (Sukamta menusukan belati itu seketika, bukan pada Dekardi  
melainkan ia membunuh dirinya sendiri.
Mata-mata       : Penghianat kau!! Baik kau akan mati dengan tangan ku sendiri kau
penjuang konyol! Terima ini! (Peluru melesat tepat mengenai Dekardi)

Suara peluru pertama terengar. Dekardi yang tengah sekarat menendang kaki mata-mata itu dari bawah. Mata-mata itu pun terjatuh. Merta segera menjalankan strategi terakhirnya dengan merebut senapan yang telah terpelanting di dekatnya. Tembakan Merta meleset namun tetap mengenai kaki mata-mata itu, setidaknya ia lemah tak berdaya. Merta hendak menembak kembali.
Mata-mata       : Tunggu.. tunggu Merta, kau tentu tak menginginkan ku mati!! (merangkak
menghampiri merta)
Merta               : Apa maksudmu biadab. Diamlah nyawamu sudah berada di ujung tanganku
(peluru melesat ke perut mata-mata itu)
Mata-mata       : (Menyanyi lirih kesakitam) Tak lelo lelo lelo ledung.. Anak ku sing ayu
rupane..
Merta               : (Meneteskan air mata dan terfikir sesuatu) Bapak...
Sukamta          : (Lirih setengah sekarat sambil memegang perutnya) Kau benar Merta,
bajingan itu adalah Ayahmu, sengaja aku tak memberitahu kalian karena aku tak mau Dekardi membencimu.
Mata-mata       : Cah ayu.. Sengaja bapak melakukan ini karena mereka menjanjikan jika
Bapak dapat membunuh Dekardi, para koloni itu akan menyekolahkanmu ke negeri mereka. Bapak tau kau mencintai Dekardi, namun betapa bahagianya bapak jika kau dapat sekolah layaknya anak-anak pejabat, seperti keiinginanmu ketika kecil dulu bukan.
Merta               : Bapak....!!!!!!!!!!

Merta berlari memeluk mata-mata yang ia kira adalah Bapaknya sendiri. Tanpa disangka Mata-mata itu merebut senapannya sembari berderi tergopoh-gopoh..
Mata-mata       : Hahahahaha... Kalian tolol!! Merta kau kira aku adalah ayahmu? Aku
hanyalah seorang yang mirip ayahmu! Ayahmu telah diculik dan di asingkan kemarin.
Merta               : Bajingan kau!! (sambil mundur menghampiri Dekardi dan Sukamta)Maaf..
maaf.. karena aku strategi kita tidak berhasil. Bangun Dekar, Sukamta!! Kalian masih mendengarku bukan? Bicara! Teriak TINTA MERDEKA jika kalian masih ingin sang merah -putih berkibar. Bangun ayo bangun.

ADEGAN III
Mata-mata itu melesatkan peluru dari senapannya pada tubuh Merta. Merta pun terkulai, namun masih bisa bangkit. Dekardi, Merta dan Sukamta yang sedang sekarat berusaha bangkit walau tergopoh-hopoh. Para ‘Tinta Merdeka’ bangkit. Mata-mata itu hendak menembakan peluru pada mereka namun tanpa ia sadar pelurunya telah habis. Sukamta menendang kaki mata-mata itu yang sedari tadi telah lemah, Merta memegangi mata-mata itu agar tidak bisa melawan sedangkan Dekardi menusukan belati ke jantung penghianat bangsa itu. Dilayangkannya belati itu sambil berteriak bersama. “MERDEKA!!”
Dekardi           : Bagaimanapun caranya sang merah putih harus tetap berkibar hari ini!

Tinta Merdeka masih berusaha mengibarkan sang merah-putih. Masyarakat cemas dengan keadaan Tinta Merdeka, namun mereka tak kuasa menghalau kegigihan tiga sekawan itu. Darah mengalir begitu banyak mereka sudah tak mampu berdiri lagi walaupun sang merah-putih baru berkibar setengah tiang. Mereka membalikan badan menyender pada tiang bendera. Dekardi di kanan, Merta tengah dan Sukamta kiri. Perlahan mereka terjatuh sambil berpegangan erat.
Sukamta          : Dekar.. ternyata celotehan masa kecil kita benar. Kita bersahabat sampai
mati.
Dekar              : Ya.Kau benar Sukamta, di alam lain kita akan terus bersama. Merta.. Kini
kampung kita telah merdeka, langit desa kita telah dihiasi lambang negara yang berkibar pada tiang kokoh di tengah kampung kita. Desa kita telah merdeka, tugasku telah usai. Sang panji telah berkibar di singgasananya walau setengah tiang. Mungkin, di dunia kita belum berjodoh, namun aku akan selalu menantimu. (diam beberapa detik) Di surga abadi”.
Merta               : Kalian benar Sukamta, Dekar.. Masyarakat Desaku, biarlah bendera  ini
berkibar setengah tiang. Karena memang, negara kita masih setengah merdeka.
Masyarakat      : Merdeka... Merdeka... Hidup Tinta Merdeka..!!!
Dekardi, Merta dan Sukamta  : TINTA MERDEKA!!!!  (Tinta Merdeka terkulai dan mata mereka terpejam. Mereka menghembuskan nafas terakhir dibwah kibaran sang MERAH-PUTIH.
SELESAI

Bandung, 05 Mei 2012

Satu

Sejak kecil aku mencintai seni, tidak begitu giat seperti orang - orang yang mengaku pecinta atau penggiat seni, tidak sepintar atau segiat mereka, aku mencintai seni dengan caraku sendiri. Berada di dalamnya, berusaha survive, karena seni adalah hidup.
Oleh karena itu, 4 tahun lalu aku menetapkan pilihanku pada kampus ini. Tanpa bekal apa - apa, tanpa pengalaman ataupun jam terbang, terutama dalam bidang yang aku pilih "Seni Teater". Hanya bermodal dua kata "Aku Ingin" dan ternyata tuhan menetapkan takdir ku di sini. Babak hidup baru dimulai, aku menjalani lakon ku di sini. Memulai segalanya dari nol ! Semangatku melambung setinggi - tingginya sampai kemudian kembali lagi ke titik nol.
dan di sinilah proses pendewasaan diriku terbentuk.

Disini, otaku dituntut untuk berpikir lebih keras, fisikku dituntut untuk lebih kuat, mataku dituntut untuk terjaga lebih kama, aku melakukan semuanya dengan senang hati. Disini aku merasakan bagai mana dicintai, disayangi, dikagumi, dibenci, dicaci sampai pada akhirnya aku mengerti bagaimana sebuah kekecewaan mematahkan kuku tajamku, menggerogoti semangatku yang semula ku kira kokoh. sejak saat itu aku mengerti, seperti apa rasanya jatuh. Mimpi ku berantakan, harapan yang ku bangun rasanya sia - sia.

Aku anggap hal itu mimpi buruk. Aku akan memulai lagi semuanya dari awal. Tanpa melupakan masalalu, biarlah kekecewaan menjadi sejarah peristiwa lampau yang tak akan terulang dan menjadi pelajaran. Dan aku akan terus hidup bersama kenanganku.

Seni adalah harapan
Seni adalah kekecewaan
Seni adalah cinta
Seni adalah hidup